Kunjungi dan lihat aktifvitas blog Carita Ki Sunda
23 Oktober 2009 | By: Babad leluhur sumedang

I. MASA KERAJAAN. SUMEDANG LARANG

“Insun Medal Insun Madangan”
Dalam Carita Parahiyangan dan catatan Bujangga Manik bahwa sekitar kaki Gunung Tompo Omas (Tampomas) terdapat sebuah Kerajaan Medang Kahiyangan (252 – 290 M), dan menurut catatan Bujangga Manik juga bahwa posisi Sumedang Larang berada di Cipameungpeuk, dilihat dari posisi Sumedang Larang (998 – 1114 M) bahwa yang memegang kekuasaan waktu itu adalah Prabu Pagulingan. Dilihat dari masa kedua kerajaan tersebut sangat berjauhan dan tidak ada hubungan sama sekali, berdasarkan penyelusuran penyusun bahwa keturunan dari Medang Kahiyangan merupakan keturunan Raja Salakanagara ke 5 dari Prabu Dharma Satya Jaya Waruna Dewawarman menantu Dewawarman IV, sedangkan menurunkan keturunan Sumedang Larang berasal Manikmaya Kerajaan Kendan menantu Suryawarman raja Tarumanagara ke 7 yang kemudian juga menurunkan raja-raja Galuh dan Sunda
Cikal bakal berdirinya kerajaan Sumedang Larang berawal dari kerajaan Tembong Agung. Berdirinya kerajaan Tembong Agung sangat erat kaitannya dengan kerajaan Galuh Pakuan yang didirikan oleh Wretikandayun 612 M, sedangkan kerajaan Tembong Agung didirikan oleh Prabu Guru Aji Putih 678 M di Citembong Girang Kecamatan Ganeas Sumedang kemudian pindah ke kampung Muhara Desa Leuwi Hideung Kecamatan Darmaraja. Prabu Guru Aji Putih merupakan putra Ratu Komara keturunan dari Wretikandayun. Prabu Guru Aji Putih hasil pernikahan dengan Dewi Nawang Wulan (Ratna Inten) memiliki empat orang putra; yang sulung bernama Batara Kusuma atau Batara Tuntang Buana yang dikenal juga sebagai Prabu Tajimalela, yang kedua Sakawayana alias Aji Saka, yang ketiga Haris Darma dan yang terakhir Jagat Buana yang dikenal Langlang Buana. Dalam kropak 410 disebutkan pula bahwa Tajimalela itu adalah Panji Romahyang putera Demung Tabela Panji Ronajaya dari Dayeuh Singapura. Tajimalela sejajar dengan tokoh Ragamulya (1340 - 1350) penguasa di Kawali dan Suryadewata ayah Batara Gunung Bitung di Majalengka. Dalam masa pemerintahan Niskala Wastu Kancana (1371 – 1475), Singapura diperintah oleh putranya yang kedua Surawijaya Sakti yang kemudian digantikan oleh adiknya Ki Gedeng Sindangkasih, putra Wastu Kancana yang ketiga yang disebut Mangkubumi Sumedang Larang karena waktu itu Sumedang Larang menjadi kerajaan bawahan Galuh. Kemunculan Sumedang Larang tentu sejalan dengan kasus kemunculan kerajaan Talaga yang dirintis oleh tokoh Praburesi yang tetap berada di bawah Galuh.
Ketika Batara Kusuma sedang bertapa , terjadi suatu keajaiban alam di kaki Gunung Cakrabuana, ketika langit menjadi terang-benderang oleh cahaya yang melengkung mirip selendang (malela) selama tiga hari tiga malam sehingga Batara Kusuma berucap “ In(g)sun Medal In(g)sun Madangan” (In(g)sun artinya “saya”, Medal artinya lahir dan Madangan artinya memberi penerangan) maksudnya “Aku lahir untuk memberikan penerangan” dari kata-kata tersebut terangkailah kata Sumedang, kata Sumedang Larang dapat juga diartikan sebagai “tanah luas yang jarang bandingnya” (Su= bagus, Medang = luas dan Larang = jarang bandingannya), sehingga Batara Kusuma dikenal pula sebagai Tajimalela dan kata Sumedang bisa diambil juga dari kata Su yang berarti baik atau indah dan Medang adalah nama sejenis pohon, Litsia Chinensis sekarang dikenal sebagai pohon Huru, dulu pohon medang banyak tumbuh subur di dataran tinggi sampai ketinggi 700 m dari permukaan laut seperti halnya Sumedang merupakan dataran tinggi. Selain itu Tajimalela menciptakan ilmu Kasumedangan terdiri dari 33 pasal “Sideku Sinuku Tunggal Mapat Pancadria” ilmu yang berisikan hubungan manusia dengan Sang Pecipta dan Antara manusia dengan manusia, seperti yang terpancar dalan tembang Sinom berikut :
Sumanget ka Sumedangan
Tara ngukut kanti risi
Tara reuwas ku beja
Sikepna titih carincing
Jauh tina hiri dengki
Nyekel tetekon nu luhung
Gagah bedas tanpa lawan
Handap asor hade budi
Kasabaran nyata elmu katunggalan
Prabu Tajimalela merupakan raja pertama Kerajaan Sumedang Larang (721 – 778 M) yang berkedudukan Tembong Agung Darmaraja dibekas kerajaan Prabu Guru Aji Putih. Prabu Tajimalela mempunyai tiga orang putra yaitu ; yang pertama Jayabrata atau Batara Sakti alias Prabu Lembu Agung, yang kedua Atmabrata atau Bagawan Batara Wirayuda yang dikenal sebagai Prabu Gajah Agung, dan yang terakhir Mariana Jaya atau Batara Dikusuma dikenal sebagai Sunan Ulun, yang pertama menjadi raja kedua Sumedang Larang adalah Lembu Agung (778 – 893 M) kemudian digantikan oleh Gajah Agung . Kisah awal Prabu Gajah Agung sangat mirip kisah awal Kerajaan Mataram menurut versi Babad Tanah Jawi tetapi melihat masa pemerintahannya Prabu Gajah Agung pada tahun 839 M sedangkan Ki Ageng Pamanahan tahun 1582 M jelas terlihat waktu yang sangat berbeda. Menurut kisah Babad Tanah Jawi itu Ki Ageng Sela memetik dan menyimpan buah kelapa muda sementara Ki Ageng Sela pergi, datanglah Ki Ageng Pamanahan yang kemudian meminumnya, yang akhirnya Ki Ageng Pamanahan menjadi Raja Mataram sedangkan dalam Babad Darmaraja ketika Prabu Tajimalela menunjuk Lembu Agung untuk menjadi raja Sumedang Larang yang kedua, Lembu Agung menolaknya, Lembu Agung memilih untuk menjadi resi daripada menjadi seorang raja sepertinya adiknya Sunan Ulun menjadi resi demikian pula dengan Gajah Agung menolak, akhirnya Tajimalela memanggil kedua putera kembarnya yaitu Lembu Agung dan Gajah Agung, ketika kedua puteranya datang Prabu Tajimalela menyuruh kedua puteranya untuk menunggui sebuah kelapa muda dan sebilah pedang di tengah lapangan berapa saat kemudian Prabu Tajimalela pergi meninggalkan mereka berdua, setelah menunggu berapa lama kemudian Prabu Lembu Agung pergi sementara tinggallah Prabu Gajah Agung seorang diri akhirnya Prabu Gajah Agung tak kuat menahan haus kemudian meminumnya buah kelapa tersebut, akhirnya Prabu Tajimalela menunjuk Atmabrata yang dikenal sebagai Prabu Gajah Agung (893 – 998 M) sebagai raja Sumedang Larang kedua, periode pemerintahan kedua keturunan Prabu Tajimalela lebih kepada karesian dari pada keprabuan dan mulai dari sini pusat
Makam Prabu Pagulingan /Jagabaya di Nantung
pemerintahan dipindah dari Darmaraja ke Ciguling Pasanggrahan Sumedang Selatan. Prabu Gajah Agung mempunyai putra bernama Wirajaya atau Jagabaya atau dikenal sebagai Prabu Pagulingan (998 – 1114 M) kemudian menjadi raja Sumedang Larang keempat. Setelah wafatnya Prabu Pagulingan digantikan oleh Mertalaya yang
dikenal sebagai Sunan Guling (1114 – 1237 M)mempunyai tiga putra; Tirta Kusuma dikenal sebagai Sunan Tuakan, Jayadinata dan Kusuma Jayadiningrat. Setelah Sunan Guling wafat digantikan oleh puteranya bernama Tirtakusuma atau Sunan Tuakan (1237 – 1462 M) sebagai raja Sumedang Larang yang keenam. Sunan Tuakan memiliki tiga putri; yang sulung Ratu Ratnasih alias Nyi Rajamatri diperistri oleh Sri Baduga Maharaja Jaya Dewata Pakuan Pajajaran, yang kedua Ratu Sintawati alias Nyi Mas Ratu Patuakan dan yang ketiga Sari Kencana diperisteri oleh Prabu Liman Sanjaya keturunan Prabu Jaya Dewata.
Situs bekas Benteng Keraton Sumedang Larang di Ciguling – Ds. Pasanggrahan
Sumedang Selatan.
Kemudian Sunan Tuakan digantikan oleh putrinya yang kedua yang bernama Ratu Sintawati alias Nyai Mas Patuakan (1462 – 1530 M) sebagai raja Sumedang Larang ketujuh, Ratu Sintawati menikah dengan Sunan Corenda raja Talaga putera Ratu Simbar Kancana dari Kusumalaya putra Dewa Niskala penguasa Galuh. Dari Ratu Sintawati dan Sunan Corenda mempunyai putri bernama Satyasih atau dikenal sebagai Ratu Inten Dewata setelah menjadi penguasa Sumedang yang kedelapan bergelar Ratu Pucuk Umum (1530 – 1578 M).
Pada masa Ratu Sintawati agama Islam mulai menyebar di Sumedang pada tahun 1529 M. Agama Islam disebarkan oleh Maulana Muhammad alias Pangeran Palakaran putera Maulana Abdurahman alias Pangeran Panjunan. Pangeran Palakaran menikah dengan Nyi Armilah seorang puteri Sindangkasih Majalengka dan hasil pernikahan tersebut pada tanggal 6 bagian gelap bulan jesta tahun 1427 saka (+ 29 Mei 1505 M) lahirlah seorang putra bernama Rd. Solih atau Ki Gedeng Sumedang alias Pangeran Santri. Kemudian Pangeran Santri menikah dengan Ratu Pucuk Umum, yang akhirnya Pangeran Santri menggantikan Ratu Pucuk Umum sebagai penguasa Sumedang, Pangeran Santri dinobatkan sebagai raja Sumedang Larang dengan gelar Pangeran Kusumadinata I pada tanggal 13 bagian gelap bulan Asuji tahun 1452 saka (+ 21 Oktober 1530 M), Pangeran Santri merupakan murid Sunan Gunung Jati.
Pangeran Santri merupakan penguasa Sumedang pertama yang menganut agama Islam dan berkedudukan di Kutamaya Padasuka sebagai Ibukota Sumedang Larang yang baru, sampai sekarang di sekitar situs Kutamaya dapat dilihat batu bekas fondasi tajug keraton Kutamaya. Pada tanggal 3 bagian terang bulan srawana tahun 1480 saka (+ 19 Juli 1558 M) lahirlah Pangeran Angkawijaya yang kelak bergelar Prabu Geusan Ulun putera dari Pangeran Santri dan Ratu Pucuk Umum. Pada masa pemerintahan Pangeran Santri kekuasaan Pajajaran sudah menurun di beberapa daerah termasuk Sumedang dan pada tanggal 11 Suklapaksa bulan Wesaka 1501 Sakakala atau tanggal 8 Mei 1579 M Pajajaran “Sirna ing bumi” Ibukota Padjajaran jatuh ke tangan pasukan Kesultanan Surasowan Banten . Pada tahun 1578 tepatnya pada hari Jum’at legi tanggal 22 April 1578 atau bulan syawal bertepatan dengan Idul Fitri di Keraton Kutamaya Sumedang Larang Pangeran Santri menerima empat Kandaga Lante yang dipimpin oleh Sanghiang Hawu atau Jaya Perkosa, Batara Dipati Wiradidjaya (Nganganan), Sangiang Kondanghapa, dan Batara Pancar Buana Terong Peot membawa pusaka Pajajaran dan alas parabon untuk di serahkan kepada penguasa Sumedang Larang dan pada masa itu pula Pangeran Angkawijaya / Pangeran Kusumadinata II dinobatkan sebagai raja Sumedang Larang dengan gelar Prabu Geusan Ulun (1578 – 1610) sebagai nalendra penerus kerajaan Sunda dan mewarisi daerah bekas wilayah Pajajaran, sebagaimana dikemukakan dalam Pustaka Kertabhumi I/2 (h. 69) yang berbunyi; “Ghesan Ulun nyakrawartti mandala ning Pajajaran kangwus pralaya, ya ta sirnz, ing bhumi Parahyangan. Ikang kedatwan ratu Sumedang haneng Kutamaya ri Sumedangmandala” (Geusan Ulun memerintah wilayah Pajajaran yang telah runtuh, yaitu sirna, di bumi Parahiyangan. Keraton raja Sumedang ini terletak di Kutamaya dalam daerah Sumedang) selanjutnya diberitakan “Rakyan Samanteng Parahyangan mangastungkara ring sira Pangeran Ghesan Ulun” (Para penguasa lain di Parahiyangan merestui Pangeran Geusan Ulun). “Anyakrawartti” biasanya digunakan kepada pemerintahan seorang raja yang merdeka dan cukup luas kekuasaannya. Dalam hal ini istilah “nyakrawartti” maupun “samanta” sebagai bawahan, cukup layak dikenakan kepada Prabu Geusan Ulun, hal ini terlihat dari luas daerah yang dikuasainya, dengan wilayahnya meliputi seluruh Padjajaran sesudah 1527 masa Prabu Prabu Surawisesa dengan batas meliputi; Sungai Cipamali (daerah Brebes sekarang) di sebelah timur, Sungai Cisadane di sebelah barat, Samudra Hindia sebelah Selatan dan Laut Jawa sebelah utara. Daerah yang tidak termasuk wilayah Sumedang Larang yaitu Kesultanan Banten, Jayakarta dan Kesultanan Cirebon. Dilihat dari luas wilayah kekuasaannya, wilayah Sumedang Larang dulu hampir sama dengan wilayah Jawa Barat sekarang tidak termasuk wilayah Banten dan Jakarta kecuali wilayah Cirebon sekarang menjadi bagian Jawa Barat.
Pada saat penobatannya Pangeran Angkawijaya berusia 22 tahun lebih 4 bulan., sebenarnya Pangeran Angkawijaya terlalu muda untuk menjadi raja sedangkan tradisi yang berlaku bahwa untuk menjadi raja adalah 23 tahun tetapi Pangeran Angkawijaya mendapat dukungan dari empat orang bersaudara bekas Senapati dan pembesar Pajajaran, keempat bersaudara tersebut merupakan keturunan dari Prabu Bunisora Suradipati. Dalam Pustaka Kertabhumi I/2 menceritakan keempat bersaudara itu “Sira paniwi dening Prabu Ghesan Ulun. Rikung sira rumaksa wadyabala, sinangguhan niti kaprabhun mwang salwirnya” (Mereka mengabdi kepada Prabu Geusan Ulun. Di sana mereka membina bala tentara, ditugasi mengatur pemerintahan dan lain-lainnya), sehingga mendapat restu dari 44 penguaa daerah Parahiyangan yang terdiri dari 26 Kandaga Lante, Kandaga Lante adalah semacam Kepala yang satu tingkat lebih tinggi dari pada Cutak (Camat) dan 18 Umbul dengan cacah sebanyak + 9000 umpi, untuk menjadi nalendra baru pengganti penguasa Pajajaran yang telah sirna. Tidak semuanya bekas kerajaan bawahan Pajajaran mengakui Prabu Geusan Ulun sebagai nalendra , sehingga terpaksa Prabu Geusan Ulun menaklukan kembali kerajaan-kerajaan tersebut seperti Karawang, Ciasem, dan Pamanukan subang.

Jika menurut Anda artikel ini bermanfaat, silahkan vote ke Lintas Berita agar artikel ini bisa di baca oleh orang lain.

0 komentar:

Kembali lagi ke atas